Senin, 30 September 2013

Secarik surat untuk sebuah nama

Kulihat kau dengan hati, dalam kecupan hangat, dan sepucuk doa yang kutitipkan pada Tuhan. Kupandang kau dengan mata terpejam, dalam senyuman cantik, dan bisikan lagu di jantungku. Entah bagaimana rupa merah kulukiskan di dindingmu, segalanya teramat elok nan rupawan, bahkan tatkala nafas ini terasa terhenti, kau masih saja menyematkan warna pelangi. Kini, biarkan aku menyentuh telapak kakimu, tetap hidup yang tak akan kembali.

Untuk sebuah nama

Sebuah nama yang lama menghilang kini hadir kembali. Pernah membuat hati bergetar dari tiap kata yang ia ucapkan, nafas yang ia hembuskan, senyuman yang ia lemparkan. Entah bagaimana ia datang dengan tiba-tiba dan menciptakan seberkas embun di kalbu. Titisan yang telah lama hilang. Tak ada ketakutan di sudut hati ini kecuali pada satu hal, aku takut suatu hari akan tersakiti dan disakiti. Tetapi lagi-lagi hidup harus berlanjut, harus dijalani. Stagnan di tempat hanya akan memahat kita sebagai manusia tak berguna. Sekarang, dengan mengucapkan doa kepada Tuhan, aku tengah membisikan tiga kata untukmu. -For my soul-

Tempat yang Dulu Kau Sebut Rumah

Tempat (yang Dulu) Kau Sebut Rumah

Tumpukan bata di sudut jalan mulai berlumut tak ada angin berembus lewat jendela setiap pagi pintu berderit hanya sekali tatkala penja...