Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sang Sarjana

Sartika begitu riang saat toga disematkan di atas kepalanya. Hari itu dia cantik rupawan. Polesan make up membuat Sartika makin cemerlang. Ditambah lagi Sartika yang lulus dengan predikat sangat memuaskan. Kecerdasannya terpancar begitu saja dari sorot matanya.

Barangkali Sartika harus lebih bangga. Sebab dia mendapat predikat lulusan plus-plus. Prestasinya sebagai aktivis kampus patut diacungi jempol. Dia adalah salah satu mahasiswa aktivis yang sering demo di simpang lima atau di depan gedung DPRD. Bahkan beberapa waktu sebelum lulus, Sartika menyempatkan diri ikut unjuk rasa ‘menurunkan harga BBM’. Untung Sartika perempuan, jadi tidak ikut-ikutan diseret ke kantor polisi.

Suara gendingan di ruang wisudaan menggetarkan hati Sartika. Usailah sudah perjuangan dia di dunia mahasiswa. Langkahnya anggun nan kemayu menuju tempat prosesi. Ayah dan ibunda Sartika terlihat begitu gembira. Bahagia karena berhasil menjadikan putri tunggalnya menjadi sarjana muda. Tapi, di balik semua itu, tidak ada yang tahu, bagaimana rangkaian perjalanan Sartika sebelumnya.

***

Matahari setengah terbenam. Sartika masih sibuk mondar-mandir di gedung mahasiswa. Menunggu seseorang datang. Padahal teman-temannya sudah menyuruhnya memulai rapat. Mereka gelisah. Ingin rapat segera usai. Setelah maghrib akan ada postes mendadak di laboratorium.

Beberapa di antara mereka protes pada Sartika. Namun, Sartika tak menggubris. Dia tetap menunggu satu orang yang dia anggap paling penting.

“Kau ini, mulai sajalah.” Seseorang mulai geram. “Dia itu kan selalu terlambat. Bukan hanya dia yang punya kepentingan. Kami juga.

” Sartika mendengus. “Iya, sabar. Tak hanya kau yang mau postes, aku juga.” Ujarnya kesal.

Sesaat berlalu. Seorang pemuda datang tergopoh-gopoh. Dia meminta maaf pada Sartika. Berkali-kali. Sayangnya, Sartika tetap memasang tampang masam. Pemuda itu telah menjelaskan alasannya datang terlambat. Ibunya mendadak sakit. Dia tak bisa meninggalkan begitu saja.

Ah, Sartika. Masih saja cemberut. Tak urung, yang lain pun jadi korban kekesalan Sartika ketika rapat. Semua jadi berantakan. Rapat tidak ada hasil final. Postes malam itu semuanya terlambat. Nyaris saja dibatalkan.

***

Pemuda yang ditunggu Sartika datang. Tanpa dendam. Wajahnya sumringah melihat Sartika dibalut kebaya hijau. Cantik. Begitu pikir sang pemuda.

Sartika menatap pemuda itu penuh rasa bersalah. Pemuda yang selalu jadi sasaran amarahnya. Selalu saja dimaki-makinya. Pemuda dengan sorot mata penuh kesabaran.

Mereka berfoto sejenak. Mengabadikan kenangan terindah Sartika. Tak ada beban apapun di hati pemuda itu. meskipun seharusnya sekarang dia juga lulus. Baginya, kebahagiaan Sartika adalah segalanya. Tak peduli walaupun dia seringkali pengorbankan kepentingan bahkan cintanya untuk Sartika.

“Akhirnya kau jadi sarjana.”

Sartika tersenyum, ”Hei, kau seharusnya bersamaku sekarang. Kenapa kau…”

“Aku masih ingin di sini.” Potongnya segera.

“Kalau saja waktu itu…”

“Sudahlah.. tak perlu kau pikirkan. Anggap saja bagian dari perjuangan kita.” Dia tersenyum. Manis sekali. Hati Sartika tergetar.

***

Telepon berdering. Pemuda berkaos merah nampak risau. Gadis di sampingnya memandang penuh curiga.

“Sartika?” tanya si gadis dengan tampang muram. Pemuda mengangguk. Meminta izin untuk mengangkat telepon. Gadis mengangguk, berat.

Di seberang terdengar suara kalut Sartika. Pemuda kian resah. Semenit berlalu. Pemuda itu menutup teleponnya.

“Aku harus pergi.” Katanya.

“Apa?”

“Sartika membutuhkanku.”

“Lalu aku?” protesnya.

“Kita bisa bertemu lagi besok.”

“Sartika atau aku yang kekasihmu, hah? Lagipula satu jam lagi kau harus bertemu…”

“Dosen pembimbingku gampang.” Pemuda sudah berdiri. Segera membayar sejumlah uang pada ibu kantin. Kemudian pergi meninggalkan si gadis.

***

Sartika terdesak. Dia tidak tahu bagaimana harus keluar dari situasi ini. Tak menyangka presiden universitas akan digelandang ke kantor polisi. Dan wakilnya diculik sekelompok orang tak dikenal. Sartika sendiri terus menerus didesak mengambil keputusan. Pihak mana yang akan dia bela. Pemilihan raya tahun ini pecah tiga kubu. Satu kubu netral, satu kubu putih dan satu lagi kubu merah.

Sementara Sartika dilema. Wakil presiden yang sangat dia cintai dilindungi orang-orang kubu putih. Sedangkan Sartika, berasal dari kubu merah. Sartika tidak suka kubu putih karena ditunggangi kepentingan politik luar. Konon salah satu partai besar di negeri ini membiayai seluruh kampanye kubu putih. Jika Sartika memilih netral, dia akan jadi pengkhianat sekaligus penjilat.

Waktu Sartika tinggal sedikit lagi. Dia satu-satunya yang belum mengambil keputusan. Sartika benar-benar dilanda bimbang. Di satu sisi mereka mulai mengeluarkan ancaman. Jika Sartika tak juga bicara, selamanya wakil presiden akan disekap.

“Sartika!” suara itu melengking. Pemuda yang ditunggu Sartika datang. Penyelamat sejati.

***

Sebulan setelah wisuda, Sartika masih terkukung di rumah. Sudah sembilan perusahaan menolak dia. Sartika jatuh di level tes yang sama. Tes Pauli.

Entah apa yang salah ketika Sartika menjawab semua hitungan dalam tes itu. Sepertinya Sartika telah menjawab benar. Bahkan mengerjakan sempurna. Dua lembar tes pauli habis dilahapnya.

Dari perusahaan ke perusahaan dia sambangi. Sartika menenteng setia stopmap plastik yang berisi lamaran kerja. Tapi, rasanya benar-benar sulit. Sartika terus tertolak.

Pada detik kesembilan kegagalan Sartika, berderailah airmatanya. Setiap tetes yang jatuh, setiap itu pula pesan singkat terkirim ke ponsel sang pemuda. Sartika mengadu. Mengeluh. Protes. Tidak terima pada takdir.

Apa yang kurang dari Sartika? Cantik. Pintar. Mantan aktivis dengan segudang pengalaman dan prestasi. Indeks prestasi cumlaude. Bagaimana mungkin sembilan perusahaan menolaknya? Apalagi karena tes pauli yang menurut Sartika hanya hitungan anak SD.

Pemuda itu menghela napas saat membaca pesan singkat Sartika. Dia merasakan sesak menggelambir di dadanya. Tak bisa lagi berbuat apa-apa seperti waktu Sartika masih jadi mahasiswa. Tidak ada.

***

Serambi kampus sepi. Hanya ada mereka berdua. Menikmati kelegaan pasca penyekapan.

“Terima kasih. Kalau kau tak datang, entah apa jadinya.” Ucap Sartika penuh penyesalan.

“Ah, Sartika. Andai kau mau sedikit saja mendengarkan aku. Wakil presiden hanya memanfaatkanmu. Kau buta kah sebab itu?”

“Maaf.”

“Sudahlah…”

Alarm mendadak berbunyi. Pemuda terperanjat melihat ponselnya.

“Astaga!” pekiknya.

“Ada apa?”

“Aku harus pergi. Satu jam lalu seharusnya aku menghadap dosenku.”

“Lalu? Apa skripsimu tertunda?”

Dia menyentuh bahu Sartika. “Dengar, apapun yang terjadi, aku akan tetap mendampingimu saat wisuda.”

***

Tatap mata nyaris putus asa. Lidahnya terlalu kelu untuk terus bercerita. Terlalu menyedihkan.

Padahal pemuda masih setia mendengarkan setiap detil kata yang keluar dari bibir Sartika. Namun, sekarang, Sartika membisu. Kisah kegagalan itu mencabik-cabik relung hatinya.

Yang paling menyakitkan adalah perusahaan kesembilan. Sartika sudah melewati enam tahap dari tujuh tahap. Malang, di tahap ketujuh, Sartika dinyatakan gagal. Tidak diterima. Sartika melihat jutaan pyramid yang dia bangun runtuh begitu saja. Dan selalu, sang pemuda lah sasaran kekecewaannya.

“Sartika, kau tahu? Apa yang membuat batu besar bisa pecah setelah dipukul seratus kali?.” Katanya seraya mengetikan tulisan-tulisan dosen di dalam skripsinya.

Sartika menggeleng di balik percakapan telepon. “Mungkin pukulan ke seratus itu yang paling keras, jadi batunya hancur.”

Tangan pemuda tetap konsentrasi mengetik. Sementara pikirannya mencari akal untuk menenangkan Sartika. “Bukan karena itu.” dia menghentikan jemarinya yang mengetik, lalu menghela napas. “Batu itu hancur karena 99 pukulan sebelumnya.” Hening. Lantas semua hening. Airmata Sartika kembali berderai. Kali ini bukan karena kecewa.

***


Posting Komentar untuk "Sang Sarjana"