Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Relung-relung Cahaya (Bagian 1)

“Kami poetra dan poetri indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air indonesia, kami poetra dan poetri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangs indonesia, kami poetra dan poetri indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Itu bunyi teks kalimat Sumpah Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah sebuah pengakuan eksistensi Pemuda Indonesia dalam mempertahankan, mempersatukan, dan membangun bangsa ini..”
Kalimat-kalimat itu seolah terus menggantung di langit. Menimbulkan berjuta tanya yang tak henti. Panas yang mencerca kini membaur bersama rasa galau. Inikah jalan-Nya? Esensi dari sebuah pelatihan. Bukan hanya sekedar mencari titel popularitas dan jabatan yang lebih tinggi. Bukan ambisi yang menyalak-nyalak dari persaingan politik. Tetapi, kewajiban yang mesti dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan secara vertikal dan horisontal! Kini, aku telah sampai di bukit peradaban. Mau tidak mau harus memberikan kemajuan bagi peradaban itu. Walau sebenarnya pun ada ribuan pisau yang menikam jantungku. Ikut pelatihan ini bukan keinginananku. Aku hanya terdampar. Ya, terdampar di antara dua rasa. Di satu sisi aku tak ingin bersaing dengan sahabatku, tapi di sisi lain ada janji yang harus kutepati. Ada benteng pertahanan dan kepedulian yang harus kupertahankan. Masih kuingat wajah itu, Shakira dan Galan. Dua orang yang sangat berjasa untukku. Shakira, mantan ketua BEM yang dengan susah payah membangun pemerintahan BEM hingga mencapai puncak kesuksesannya. Pemerintahan BEM yang dibangunnya lewat sebuah partai berideologi netral, kejam jika ku harus menghancurkannya. Dan Galan... seorang kakak yang...
“Re...ayo turun! Udah sampai neng...”
Aku terperanjat. Ku perhatikan sekeliling. Deretan rumah bertembok kayu dan berlantai tanah memadati pinggiran jalan. Beberapa anak kecil berpakaian lusuh dan perempuan separuh baya nanar memandangi kami. Seolah berharap sesuatu... seketika hatiku berdesir.
“Kita ke kelurahan dulu,” katanya seraya menggandeng tanganku. Sosok yang paling mengerti aku.
“Ini desa yang akan kita perjuangkan?”
“Ya Re... Kenapa?”
“Tragis ya Vin...”
Kawanku yang cantik itu tersenyum.
“Perjuangan kita yang akan mengubah nasib mereka...”
Aku menghela napas panjang. Angin berhembus semakin kencang. Menyibakkan daun-daun pohon randu di depan kantor kelurahan. Sepi menyergap. Kelurahan ini tak seramai kelurahan di tengah kota. Begitu pula dengan kantornya. Hanya empat orang pegawai yang ku lihat di dalamnya. Seorang wanita berjilbab hitam menyambut kami dengan ramah. Dia nampak bijak dengan kacamatanya. Sudah sejak beberapa hari lalu, aku dan kawan-kawan satu tim merencanakan pertemuan ini. Ada tugas-tugas kemanusiaan dan sosial yang harus kami jalankan di sini selama seminggu ke depan. Aku tidak tahu, apakah tim sahabatku sudah sampai lebih dulu ataukah belum. Kami mendapat satu desa yang sama.
“Kondisi desa ini sangat memprihatinkan nak... Saya baru setahun di sini, ternyata banyak hal yang harus dibenahi. Nasib warganya tidak seberuntung nasib warga desa yang hidup di tengah kota.”
“Lalu permasalahan apa yang sering menimpa desa ini?” Sigit, ketua tim mengajukan pertanyaan.
Bu Lurah meletakkan kacamatanya di meja, kemudian menatap kami, penuh kesenduan.
“Kebanyakan masalah ekonomi dan kesehatan, Nak. Sebenarnya untuk masalah ekonomi sudah dibantu pemerintah. Mereka diberi bibit lele untuk dikembangkan, tapi nggak tahu kenapa, kok lelenya tidak bisa berkembang. Gagal, Nak. Begitu juga dengan lahan yang segitu banyaknya, cuma jadi lahan tidur, ya akibatnya kalau musim kemarau sering kekeringan.
“Kesehatan sendiri menjadi masalah krusial yang harus mendapat perhatian penuh. Desa ini baru saja terkena kasus, seorang ibu yang habis melahirkan meninggal karena infeksi ari-ari.”
“Mengapa bisa begitu,Bu?” tanya Vina, mahasiswi kedokteran. Aku tetap diam, sibuk dengan kamera laserku. Mengambil foto-foto mereka dan ruangan kantor kelurahan. Tetapi masih ku dengar jelas suara Bu Lurah memberikan keterangan.
“Karena melahirkannya tidak sama bidan, tapi sama dukun. Padahal ya Nak, di sini sudah ada bidan gratis. Lainnya, ada masalah jamban. Sudah diberi jamban, tapi masih ada warga yang buang hajat sembarangan. Kayak di RW 4 itu, sarang nyamuknya banyak... ya warganya tidak punya kesadaran untuk menjaga kebersihan. Lha wong diajak kerja bakti aja susah.. jadi Nak, ibu berharap, kedatangan kalian di sini walaupun sebentar, bisa memberikan perubahan sedikit-sedikit. Ya, terutama masalah budidaya lele, tolong warga diberi penyuluhan sekalian prakteknya. Saya iri sama kampung sebelah, budidaya lelenya berhasil,”
“Menyedihkan ya Bu, kondisinya...Kami akan berusaha Bu, sebisa mungkin memberikan ilmu yang bermanfaat untuk warga supaya desa ini bisa maju. Ya kan Rei??”
DUG! Aku terperanjat. Garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir, seperti biasanya. Sigit hanya geleng-geleng kepala. Ya Tuhan...ternyata banyak PR yang harus diselesaikan. Diam-diam ku sesali niatku yang setengah hati mengikuti program ini. Terbayang lagi wajah sahabatku. Dia yang sangat ku sayang. Yang mampu membuatku tertawa sekaligus menangis, senang dan susah, duka serta suka. Melebur jadi satu, membingkai asa. Tapi, dua bulan ini, seakan semuanya luruh pelan-pelan. Aku curiga, dia pun curiga. Aku takut, mungkin dia lebih takut.

Posting Komentar untuk "Relung-relung Cahaya (Bagian 1)"