Kamis, 12 Juli 2012
Ketika Langit Tak Lagi Indah di Bulan Desember
Ketika langit tak lagi indah di bulan desember…
Kucium hatimu dengan amat sakral pada hari penuh ketegangan. Akar jiwaku luruh, kita telah bercerai berai, sedangkan kenangan tak lagi menyisakan cinta.
Kita adalah angin, tetapi tidaklah berhembus ke arah yang sama. Kita adalah matahari, tetapi terpisah di antara Andromeda dan bimasakti. Dan kita adalah barisan kata-kata, tetapi bukan paragraf dalam selembar kertas.
Entah berapa lagi kejemuan ideologi membukit jadi gunung, gunung jadi lembah dan lembah jadi lautan. Sebab kau kini serupa api, memadamkan hentakkan kaki-kaki hujan. Tiba-tiba saja kau jelmakan dirimu selaksa rubah di bumi. Memangsa siapa saja, menikam, menelan jantung siapa saja.
Ketika langit tak lagi indah di bulan desember…
hitam mencerca sinarannya. Aku dan kau bertarung abstrak, bertanding kiasan, namun hantaman ini teramat tajam lukanya, hingga aku tak tahu apakah akan selalu kelabu.
Selasa, 10 Juli 2012
Ketika Desember Bernyawa
Ketika Desember mulai bernyawa lagi, aku ditikam takut teramat dalam. Rasa-rasanya sepi melibasku di antara keramaian, aku tersudut dan merancau seorang diri.
Adakah kau sahabatku? setelah hitam yang menodai putih ini, ataukah memang kau sandera separuh jiwaku.
Adakah kau merinduiku? seperti dahulu, tatkala desember belum nampak kelabu.
Aku sakau ingin mendekap hati kau kembali, di sini, di tepian langit yang indah. Bertajuk di pinggiran danau, bersenda gurau.
Adakah kau tahu? Kekalutan yang membunuhku diam-diam, dalam sadarku.
Ketika Desember sudah bernyawa, segera kupinang hujan agar padam perapian.
Langganan:
Postingan (Atom)
Tempat yang Dulu Kau Sebut Rumah
Tempat (yang Dulu) Kau Sebut Rumah
Tumpukan bata di sudut jalan mulai berlumut tak ada angin berembus lewat jendela setiap pagi pintu berderit hanya sekali tatkala penja...