Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rembulan di ujung dermaga (2)

"Nduk, bunda sudah sms Ray, tapi ndak dibales. Bunda juga sudah telepon sampai lebih dari sepuluh kali, ndak diangkat juga,"

"Mungkin dia sibuk bun... Bulan ndak apa-apa kok. Baik-baik aja..."

"Ya sibuk sih sibuk, tapi keterlaluan! ndak ada hormatnya sama sekali sama orang tua. Seenggaknya Ray bales sms bunda. Kamu sedang sakit begitu, masa dia ndak perhatian sama sekali??"

"Sudahlah bunda, Ray pasti nanti juga menghubungi Bulan..."

"Ya wis, nanti biar bunda telepon kakakmu saja, mudah-mudahan dia sudah di Semarang, jadi bisa beliin jus jambu buat kamu. Udah, kamu ndak usah hubungi Ray lagi. Bunda ndak setuju kamu sama dia!"

"Tapi bun..."

"Nurut sama bunda. Dia itu bukan lelaki baik-baik. Udah keliatan, nduk... Bunda ndak suka dengan cara ngomongnya. Coba kamu bandingkan sama Tiar dan Fadli, beda jauh. Pilih yang terbaik Bulan... eman-eman awakmu...Bunda nyesel, kenapa Fadli mutusin hubungannya sama kamu nduk"

"sudah bunda...jangan bawa-bawa mereka. Lagian mereka lebih muda dari bulan...Bulan nggak suka mereka. Ray dulu memang berandalan, tapi bulan yakin, sekarang dia sudah mulai berubah"

"Sudah, sudah...selesaikan kuliahmu dulu. Bunda ndak masalah, mau kamu dapet yang lebih muda atau lebih tua, yang penting dia baik lan eling karo Gusti Allah. Bunda mau bersih-bersih dulu, ndak enak sama majikan bunda... ". Klek! Sudah tak ada suara. Hanya desingan halus merambat di telingaku karena ponsel yang masih melekat.

Jarum jam masih setia berputar pada porosnya. Rembulan beranjak dari perpustakaan. Kaki kecilnya melangkah kuyu ke arah tangga. Ada beban yang seakan merubuhkannya. Gelap itu terlihat jelas. Ditumpuki butiran debu pekat. Menambah semakin kelam. Tapi, dia melihat secercah sinaran paling terang di tengahnya. Belum pernah ia melihat sinar seterang itu. Rembulan memantapkan hatinya. Apapun yang terjadi, Ray adalah titipan Tuhan.

****

bersambung...

Posting Komentar untuk "Rembulan di ujung dermaga (2)"