Mata menekan embun
tak mampu menerka angin yang melintas
Bibir yang selalu beku
berbicara pada awan yang tak pernah berubah
menantang udara di padang pasir
dalam sesak hati demi sebuah taraf hidup
Ini,
kunyanyikan sebuah lagu sendu
mengenang hukum pancung anak negeri
Ini,
kudendangkan syair pilu
menyindir pemerintah yang hanya bisa mengumbar janji
Ini,
kulontarkan puisi ngilu
mengadili aparat-aparat keji
Dan ini,
kudongengkan ceritamu
agar para elit pemimpin segera peduli
Aku tahu sejak dulu
keinginan pulang itu tak digugu
suaramu hanya serupa ranting-ranting layu
tiada upaya menolongmu
Kini,
setelah dunia berdecak menganggumi Indonesia
seolah benar-benar mendirikan proteksi luar biasa
ternyata tak benar nyata
Lagi-lagi semua cuma selembar dedaunan tanpa warna
Sudilah kiranya engkau,
wahai para manusia di atas langit
mengobati lara duka bangsa untuk kesekian kalinya
Dan pada hari yang kian merajuk kebijaksanaan
aku tahu sejak dulu
kau dan kesucianmu...
Semarang, 29 Juni 2011
Rabu, 29 Juni 2011
SUATU ISYARAT (Mengenang gempa padang)
Ada sesuatu
Yang perlahan melesat ke ujung tangan
Diam-diam memerah dan memanas
Saat tak lagi bersimbah pada porosnya
Ada sesuatu
Yang rasanya mulai meragukan
Tatkala memuntahkan isinya
Ada sesuatu
Yang pelik dan lara
Melengkingkan nyanyiannya
Dan menyumbat pori-pori hati
Lihatlah,
Betapa tanah yang terpijak kini rapuh
Sampah memompa limbah
Limbah memompa panas
Panas menyedot iklim
Iklim memancing lempeng
Lempeng menggeser kerak bumi
Mata telah buta melihat isyarat
Dia murka
Dia letih dengan segala laku kita
Dia menegur dengan firman-Nya
Allah...
Jiwa - jiwa bukanlah kristal yang indah
Allah...
Ampunkanlah kami
Atas nama ruh yang tersedot paksa
dari pusara kehidupan
Ada sesuatu
yang menggoncang seluruh tubuh
dan tak mampu menegakkan kaki
menguaplah aliran darah
Minggu, 26 Juni 2011
Rembulan di ujung dermaga (3)
Sejak semula, cinta memang telah berkotbah di hati Rembulan. Rembulan, seorang mahasiswi S1 UNDIP, berusaha tak terlalu mengurusi soal laki-laki namun akhirnya tertambat juga. Baru dua bulan ia menjalin hubungan dengan Ray. Kakak kelasnya waktu SMP yang sama sekali tak dikenalnya. Justru Ray lah yang pertama kali mengenali Rembulan sebagai adik kelasnya. Tepatnya ketika bulan Mei lalu Rembulan bertemu Ray di dalam gerbong kereta kaligung Bisnis. Walaupun tak mengenali Ray, pertama kali bertemu pandang, Rembulan merasakan ada desiran halus menyelaputi lubang hatinya. Desiran yang sama ketika ia mengalami cinta pertamanya dengan Langgam.
bersambung....
“ Dek, kamu anak SMP satu kan dulu? ”
“ Iya...kok mas tau? “
“ Aku dulu juga kakak kelas kamu, kamu kelas satu aku kelas tiga...Kamu seangkatan sama Zihan kan? ”
“ Iya...betul. Tapi, aku nggak kenal semua anak kelas tiga mas. Masnya dulu aktivis pramuka, PMR atau Paskibra mungkin? Atau OSIS? “
“ Nggak...aku nggak aktif apa-apa...Dulu aku 3F.. Kamu dulu kelas 1 apa ya? Kelasnya di depan kelasku kan? ”
“ Aku 1B mas dulu...”
“ Aku Ray, ingat nggak?” Rembulan menggeleng. “ Kamu namanya siapa ya? Dulu kan kamu nggak pake jilbab,”
“ Aku Rembulan, mas,”
“ Dek, Tahu Aci?” Ray menawarkan sebungkus makanan khas Tegal yang disebut Tahu Aci. Rembulan menggeleng. Ia tak menyerah, “ Ayo ambil, nggak aku racuni kok...”,candanya. Rembulan tetap menggeleng. “ Ya sudah...aku makan sendiri...”, celetuknya sambil melahap sepotong tahu aci. Senyum mengembang di bibir Rembulan. Ada-ada saja.
Seorang gadis cantik seusia Rembulan masuk ke gerbong. Dia berambut panjang, berkulit putih dan tinggi semampai. Sempurna, pikir Rembulan. Ia teringat penampilannya ketika SMP dulu. Kira-kira seperti gadis itu. Tapi, Rembulan tidak pernah memakai make up, sampai sekarang.
“ Dek...”,
“ Ya?”jawab Rembulan.
“ Cantik ya dek, cewek itu?”
“ Iya “.
Ray kembali memandang gadis tersebut, “ Segeeerr banget!” celetuknya. Ada rasa cemburu yang menyelinap diam-diam di hati Rembulan. Tapi, ia segera menepisnya. Siapa dia? Rembulan baru mengenalnya dua jam.
“ Aku boleh duduk sini kan? “
“Kok diem aja sih? Eh dek, tadi kamu namanya siapa ya?”
“Rembulan, mas... “,
Tiba-tiba...
“Maaf mas, ini tempat duduk saya...”, seorang gadis bertubuh gemuk serta merta mengusir Ray. Ray tetap ramah dan tersenyum kemudian mempersilahkan gadis tadi duduk di sebelah Rembulan.
“Eh eh mbak,,ini tempat duduk kita!” seloroh seorang perempuan berkaca mata, sekonyong-konyong mendatangi tempat duduk Rembulan. Satu senyuman tersungging dari bibir Rembulan. Ia pun mengalah dan mempersilahkan dua perempuan tersebut duduk. Satu senyuman yang sesungguhnya membuat hati Ray tergetar hebat. Dia merasa luruh dan takluk. Ada sesuatu yang lain dalam diri Rembulan. Dan Ray menyukai itu.
bersambung....
Kamis, 23 Juni 2011
Rembulan di ujung dermaga (2)
"Nduk, bunda sudah sms Ray, tapi ndak dibales. Bunda juga sudah telepon sampai lebih dari sepuluh kali, ndak diangkat juga,"
"Mungkin dia sibuk bun... Bulan ndak apa-apa kok. Baik-baik aja..."
"Ya sibuk sih sibuk, tapi keterlaluan! ndak ada hormatnya sama sekali sama orang tua. Seenggaknya Ray bales sms bunda. Kamu sedang sakit begitu, masa dia ndak perhatian sama sekali??"
"Sudahlah bunda, Ray pasti nanti juga menghubungi Bulan..."
"Ya wis, nanti biar bunda telepon kakakmu saja, mudah-mudahan dia sudah di Semarang, jadi bisa beliin jus jambu buat kamu. Udah, kamu ndak usah hubungi Ray lagi. Bunda ndak setuju kamu sama dia!"
"Tapi bun..."
"Nurut sama bunda. Dia itu bukan lelaki baik-baik. Udah keliatan, nduk... Bunda ndak suka dengan cara ngomongnya. Coba kamu bandingkan sama Tiar dan Fadli, beda jauh. Pilih yang terbaik Bulan... eman-eman awakmu...Bunda nyesel, kenapa Fadli mutusin hubungannya sama kamu nduk"
"sudah bunda...jangan bawa-bawa mereka. Lagian mereka lebih muda dari bulan...Bulan nggak suka mereka. Ray dulu memang berandalan, tapi bulan yakin, sekarang dia sudah mulai berubah"
"Sudah, sudah...selesaikan kuliahmu dulu. Bunda ndak masalah, mau kamu dapet yang lebih muda atau lebih tua, yang penting dia baik lan eling karo Gusti Allah. Bunda mau bersih-bersih dulu, ndak enak sama majikan bunda... ". Klek! Sudah tak ada suara. Hanya desingan halus merambat di telingaku karena ponsel yang masih melekat.
Jarum jam masih setia berputar pada porosnya. Rembulan beranjak dari perpustakaan. Kaki kecilnya melangkah kuyu ke arah tangga. Ada beban yang seakan merubuhkannya. Gelap itu terlihat jelas. Ditumpuki butiran debu pekat. Menambah semakin kelam. Tapi, dia melihat secercah sinaran paling terang di tengahnya. Belum pernah ia melihat sinar seterang itu. Rembulan memantapkan hatinya. Apapun yang terjadi, Ray adalah titipan Tuhan.
****
bersambung...
"Mungkin dia sibuk bun... Bulan ndak apa-apa kok. Baik-baik aja..."
"Ya sibuk sih sibuk, tapi keterlaluan! ndak ada hormatnya sama sekali sama orang tua. Seenggaknya Ray bales sms bunda. Kamu sedang sakit begitu, masa dia ndak perhatian sama sekali??"
"Sudahlah bunda, Ray pasti nanti juga menghubungi Bulan..."
"Ya wis, nanti biar bunda telepon kakakmu saja, mudah-mudahan dia sudah di Semarang, jadi bisa beliin jus jambu buat kamu. Udah, kamu ndak usah hubungi Ray lagi. Bunda ndak setuju kamu sama dia!"
"Tapi bun..."
"Nurut sama bunda. Dia itu bukan lelaki baik-baik. Udah keliatan, nduk... Bunda ndak suka dengan cara ngomongnya. Coba kamu bandingkan sama Tiar dan Fadli, beda jauh. Pilih yang terbaik Bulan... eman-eman awakmu...Bunda nyesel, kenapa Fadli mutusin hubungannya sama kamu nduk"
"sudah bunda...jangan bawa-bawa mereka. Lagian mereka lebih muda dari bulan...Bulan nggak suka mereka. Ray dulu memang berandalan, tapi bulan yakin, sekarang dia sudah mulai berubah"
"Sudah, sudah...selesaikan kuliahmu dulu. Bunda ndak masalah, mau kamu dapet yang lebih muda atau lebih tua, yang penting dia baik lan eling karo Gusti Allah. Bunda mau bersih-bersih dulu, ndak enak sama majikan bunda... ". Klek! Sudah tak ada suara. Hanya desingan halus merambat di telingaku karena ponsel yang masih melekat.
Jarum jam masih setia berputar pada porosnya. Rembulan beranjak dari perpustakaan. Kaki kecilnya melangkah kuyu ke arah tangga. Ada beban yang seakan merubuhkannya. Gelap itu terlihat jelas. Ditumpuki butiran debu pekat. Menambah semakin kelam. Tapi, dia melihat secercah sinaran paling terang di tengahnya. Belum pernah ia melihat sinar seterang itu. Rembulan memantapkan hatinya. Apapun yang terjadi, Ray adalah titipan Tuhan.
****
bersambung...
Rabu, 22 Juni 2011
Rembulan di ujung dermaga
Cinta itu memang rumit, terkadang perlu sebuah pengorbanan yang tidak kecil. Tapi percayalah, cinta akan membawa pada surga-Nya, kelak....
Langit meredup. Sisa-sisa sinar matahari masih menembus kerak bumi. Dedaunan berayun perlahan tertiup lembut oleh sang angin. Aroma ruminansia menyusup tajam ke hidung. Sekawanan kambing sedang asyik merumput di depan bangunan kecil bernama PKM, Pusat kegiatan mahasiswa. Tempat parkir mulai sepi kendaraan. Kebanyakan mahasiswa sudah pulang ke kos masing-masing. Hanya mahasiswa tertentu saja yang masih khusyuk dengan aktivitasnya di perpustakaan, di mushola dan di PKM, sesekali di depan perpustakaan sembari mengerjakan laporan.
Dia melirik jam dinding perpustakaan, kemudian kembali menatapi layar komputer di hadapannya. Dua hari belakangan dia dirundung resah berlebihan tiap kali membaca artikel di internet. Bahkan ia seringkali bertanya pada teman-temannya tentang artikel-artikel itu. Artikel dengan kata kunci yang sama. Hepatitis B. Itulah sesuatu yang ia cari akhir-akhir ini. Puluhan artikel ia download. Semakin banyak informasi yang ia dapatkan, semakin kegelisahan menderanya. Tak ada yang tahu seberapa besar rasa takutnya kecuali dirinya dan Tuhan.
Matanya menangkap sebuah kalimat dalam artikel. Ia terperanjat.
Seseorang dapat tertular Hepatitis B dengan beberapa cara antara lain : Berhubungan seksual dengan orang yang terinfeksi. Bergantian jarum suntik dengan orang yang terinfeksi (biasanya pada pemakai narkoba suntik), Menggunakan alat yang terkontaminasi darah dari orang yang terinfeksi (pisau cukur, alat tatto, tindik dan akupuntur), Dilahirkan dari ibu yang terinfeksi (90%). Dibandingkan virus HIV, virus Hepatitis B (HBV) seratus kali lebih ganas (infectious), dan sepuluh kali lebih banyak (sering) menularkan.
Angin halus segera berlalu. Seolah mengejeknya. Dia merasakan sesuatu yang mengiris hatinya. Luka yang lebih dari sekedar luka. Tidak percaya dengan tulisan dalam artikel itu. Ray...benarkah ini terjadi kepadamu. Adakah yang kau rahasiakan dariku Ray... Batinnya bergejolak. Ia tahu bahwa selama ini Ray adalah seorang perokok berat. Ia tahu, Ray suka berburu babi dan memakannya. Ia pun tahu Ray adalah seorang peminum. Ray selalu jujur dengan sesungguhnya dirinya. Ia menerima itu. Ia menerima Ray! Ray...apa yang harus kukatakan tentang masalahmu ini pada orang tuaku...Jawab Ray!
Tangan halusnya bergetar. Tetesan embun satu-persatu jatuh di pipinya. Embun yang bertahun-tahun tak pernah ia teteskan untuk seorang lelaki, kecuali sang Ayah. Dia, Rembulan, gadis perfeksionis yang sulit jatuh cinta, sekarang bertekuk lutut justru di hadapan pemuda urakan bernama Ray. Rembulan kini basah. Basah oleh serabutan dilema terumit dalam hidupnya. Ray, menderita hepatitis B, adalah pemuda yang sangat dicintainya. Hati Rembulan ngilu. Ray dengan segala rahasianya, nyaris membuat Rembulan menolaknya saat itu. Bahkan Rembulan tak pernah tahu siapa Ray sebenarnya, sejak pertemuan hari itu. Sebelum Ray menjadi separuh dari hatinya.
Angin musim kemarau semakin kencang berhembus. Mata Rembulan masih sembab oleh airmata. Batinnya terus bergejolak. Dia tak tahu lagi harus berkata apa pada sang bunda. Sungguh cintanya teramat dalam pada Ray. Sudah terlanjur. Isak tangisnya makin mengeras tatkala lembar dedaunan yang jatuh mengingatkannya pada ucapan bunda.
Bersambung....
NB : Nantikan kelanjutannya...
Langit meredup. Sisa-sisa sinar matahari masih menembus kerak bumi. Dedaunan berayun perlahan tertiup lembut oleh sang angin. Aroma ruminansia menyusup tajam ke hidung. Sekawanan kambing sedang asyik merumput di depan bangunan kecil bernama PKM, Pusat kegiatan mahasiswa. Tempat parkir mulai sepi kendaraan. Kebanyakan mahasiswa sudah pulang ke kos masing-masing. Hanya mahasiswa tertentu saja yang masih khusyuk dengan aktivitasnya di perpustakaan, di mushola dan di PKM, sesekali di depan perpustakaan sembari mengerjakan laporan.
Dia melirik jam dinding perpustakaan, kemudian kembali menatapi layar komputer di hadapannya. Dua hari belakangan dia dirundung resah berlebihan tiap kali membaca artikel di internet. Bahkan ia seringkali bertanya pada teman-temannya tentang artikel-artikel itu. Artikel dengan kata kunci yang sama. Hepatitis B. Itulah sesuatu yang ia cari akhir-akhir ini. Puluhan artikel ia download. Semakin banyak informasi yang ia dapatkan, semakin kegelisahan menderanya. Tak ada yang tahu seberapa besar rasa takutnya kecuali dirinya dan Tuhan.
Matanya menangkap sebuah kalimat dalam artikel. Ia terperanjat.
Seseorang dapat tertular Hepatitis B dengan beberapa cara antara lain : Berhubungan seksual dengan orang yang terinfeksi. Bergantian jarum suntik dengan orang yang terinfeksi (biasanya pada pemakai narkoba suntik), Menggunakan alat yang terkontaminasi darah dari orang yang terinfeksi (pisau cukur, alat tatto, tindik dan akupuntur), Dilahirkan dari ibu yang terinfeksi (90%). Dibandingkan virus HIV, virus Hepatitis B (HBV) seratus kali lebih ganas (infectious), dan sepuluh kali lebih banyak (sering) menularkan.
Angin halus segera berlalu. Seolah mengejeknya. Dia merasakan sesuatu yang mengiris hatinya. Luka yang lebih dari sekedar luka. Tidak percaya dengan tulisan dalam artikel itu. Ray...benarkah ini terjadi kepadamu. Adakah yang kau rahasiakan dariku Ray... Batinnya bergejolak. Ia tahu bahwa selama ini Ray adalah seorang perokok berat. Ia tahu, Ray suka berburu babi dan memakannya. Ia pun tahu Ray adalah seorang peminum. Ray selalu jujur dengan sesungguhnya dirinya. Ia menerima itu. Ia menerima Ray! Ray...apa yang harus kukatakan tentang masalahmu ini pada orang tuaku...Jawab Ray!
Tangan halusnya bergetar. Tetesan embun satu-persatu jatuh di pipinya. Embun yang bertahun-tahun tak pernah ia teteskan untuk seorang lelaki, kecuali sang Ayah. Dia, Rembulan, gadis perfeksionis yang sulit jatuh cinta, sekarang bertekuk lutut justru di hadapan pemuda urakan bernama Ray. Rembulan kini basah. Basah oleh serabutan dilema terumit dalam hidupnya. Ray, menderita hepatitis B, adalah pemuda yang sangat dicintainya. Hati Rembulan ngilu. Ray dengan segala rahasianya, nyaris membuat Rembulan menolaknya saat itu. Bahkan Rembulan tak pernah tahu siapa Ray sebenarnya, sejak pertemuan hari itu. Sebelum Ray menjadi separuh dari hatinya.
Angin musim kemarau semakin kencang berhembus. Mata Rembulan masih sembab oleh airmata. Batinnya terus bergejolak. Dia tak tahu lagi harus berkata apa pada sang bunda. Sungguh cintanya teramat dalam pada Ray. Sudah terlanjur. Isak tangisnya makin mengeras tatkala lembar dedaunan yang jatuh mengingatkannya pada ucapan bunda.
Bersambung....
NB : Nantikan kelanjutannya...
Sepotong Episode Hati
Sepotong episode hati yang selalu ada dan tak mau beranjak pergi
Memeluk malam, mengejar siang
Ada detak jantung yang tidak pernah tertebak maknanya
Serabutan mimpi tidak juga jelas artinya
entah sampai kapan terus merindui kemudian melukai
yang jelas...
mencintai...
Sepotong episode hati
bernyanyi sepi
merajuk ditepian hari
ia sepotong episode hati
selalu ada dan tak beranjak pergi...
(23/06/2011)
Memeluk malam, mengejar siang
Ada detak jantung yang tidak pernah tertebak maknanya
Serabutan mimpi tidak juga jelas artinya
entah sampai kapan terus merindui kemudian melukai
yang jelas...
mencintai...
Sepotong episode hati
bernyanyi sepi
merajuk ditepian hari
ia sepotong episode hati
selalu ada dan tak beranjak pergi...
(23/06/2011)
Selasa, 07 Juni 2011
Elemen dan unsur
adalah sebuah kesatuan tak terlepas
beradu pada kokohnya atom-atom kecil
yang diam-diam melemparinya satu-satu hingga berdarah-darah
adalah sekelumit misteri yang akan tetap ada
tak terkalahkan lajunya waktu
atau jam dinding berdetak memburu
adalah kepingan kehidupan
sisi-sisi gelap dan terang
merangkum kalimat sakti pelan-pelan
elemen dan unsur
biarkan menjadi bumbu pewarna hitam putih perjalanan
indah dan abadi...
Semarang, 7 Juni 2011
Hidup Mahasiswa!
beradu pada kokohnya atom-atom kecil
yang diam-diam melemparinya satu-satu hingga berdarah-darah
adalah sekelumit misteri yang akan tetap ada
tak terkalahkan lajunya waktu
atau jam dinding berdetak memburu
adalah kepingan kehidupan
sisi-sisi gelap dan terang
merangkum kalimat sakti pelan-pelan
elemen dan unsur
biarkan menjadi bumbu pewarna hitam putih perjalanan
indah dan abadi...
Semarang, 7 Juni 2011
Hidup Mahasiswa!
Jumat, 03 Juni 2011
DAN KEMUDIAN
dan kemudian
semuanya seperti debu yang bertebaran
melambung di atas karpet-karpet hijau
dan kemudian
membuatku tepekur sendiri di ruang ini
tanpa kawan
tanpa kekasih
dan kemudian
mengeja kegagalan yang datang pelan-pelan
adakah hal lain yang bisa ku eja lebih dari ini
sedang aku sibuk mempertanyakan diriku
dan kemudian
aku berkata pada langit-langit gersang
kelak pemberianku tentang sekeping rembulan
untuk sebuah malam yang indah di negeriku
Semarang, 3 Juni 2011, detik ke-7
semuanya seperti debu yang bertebaran
melambung di atas karpet-karpet hijau
dan kemudian
membuatku tepekur sendiri di ruang ini
tanpa kawan
tanpa kekasih
dan kemudian
mengeja kegagalan yang datang pelan-pelan
adakah hal lain yang bisa ku eja lebih dari ini
sedang aku sibuk mempertanyakan diriku
dan kemudian
aku berkata pada langit-langit gersang
kelak pemberianku tentang sekeping rembulan
untuk sebuah malam yang indah di negeriku
Semarang, 3 Juni 2011, detik ke-7
TUHAN
Aku melesak dalam malam dan tertambat ikhlas.
Tiada pernah kejemuan menyentuhku.
Merangkulkan kata sabar yang tiada tara.
Engkau ku nanti...Senyum abadi dan penantian tanpa henti.
Engkau kucintai... Pelita hati sejati.
Engkau melodi... Tak ada tanding di semesta ini.
Engkau segalanya...
Aku berjalan,Engkau berlari.
Aku berlari, Engkau melesat secepat kilat.
Sungguh sejengkal langkahku, Engkau seribu jengkal.
Engkau lah penguasa hati...
Tiada pernah kejemuan menyentuhku.
Merangkulkan kata sabar yang tiada tara.
Engkau ku nanti...Senyum abadi dan penantian tanpa henti.
Engkau kucintai... Pelita hati sejati.
Engkau melodi... Tak ada tanding di semesta ini.
Engkau segalanya...
Aku berjalan,Engkau berlari.
Aku berlari, Engkau melesat secepat kilat.
Sungguh sejengkal langkahku, Engkau seribu jengkal.
Engkau lah penguasa hati...
Langganan:
Postingan (Atom)
Tempat yang Dulu Kau Sebut Rumah
Tempat (yang Dulu) Kau Sebut Rumah
Tumpukan bata di sudut jalan mulai berlumut tak ada angin berembus lewat jendela setiap pagi pintu berderit hanya sekali tatkala penja...